Janji
Joni (2005) merupakan film garapan Joko Anwar yang dibintangi oleh Nicholas
Saputra sebagai pemeran utamanya. Bercerita tentang seorang pengantar roll film
yang selalu tepat waktu dalam menjalankan tugasnya. Joni (Nicholas) berjanji
tidak akan pernah terlambat dalam mengantarkan roll film sehingga penonton
tidak akan pernah melihat tulisan “MOHON MAAF, TUNGGU FILM” (kalimat yang biasa
ditemukan ketika roll film putus) pada saat menonton.
Suatu
hari, Joni bertemu dengan seorang gadis cantik (Mariana Renata) dan merasa
penasaran untuk berkenalan dengannya. Gadis itu membuat Joni berjanji untuk
tidak telat dalam mengantar roll film yang akan ditontonnya. Demi mendapatkan
sebuah nama, Joni menerima tantangan tersebut. Ia mengira ini akan menjadi hal
yang sangat mudah. Namun hari itu, entah kenapa seluruh kota seakan-akan
bekerja sama untuk membuatnya gagal menepati janjinya. Ia harus bertemu dengan
pencuri motor, ikut shooting film,
bertemu dengan anak-anak band yang tenyata seorang kriminal, hingga bertemu
dengan seniman gila.
Untuk
pertama kali dalam setahun ia bekerja sebagai pengantar roll film, ia gagal
menepati janjinya. Film yang penonton saksikan putus di tengah jalan, hingga
muncul tulisan “MOHON MAAF, TUNGGU FILM”. Ia pun gagal menepati janjinya kepada
gadis yang ia temui sebelumnya. Namun tak disangka, walaupun film yang ia
tonton terputus, si gadis masih menunggunya. Ia justru menghargai perjuangan
Joni yang telah bersusah payah mengantar roll film. Pada akhirnya, Joni
mengetahui gadis itu bernama Angelique.
Hasil
Pengamatan
Film ini memiliki
penonjolan isu mengenai realitas kehidupan di Indonesia. Ditandai dengan
beberapa adegan yang berisi tentang kritik sosial di masyarakat Indonesia.
Sutradara film mencoba mengangkat profesi pengantar roll film yang berasal dari
kelas sosial rendah yang ternyata sangat berpengaruh di kehidupan kita. Profesi
yang sudah luput dari perhatian banyak orang ini diangkat seakan-akan menjadi
pahlawan saat kita menonton film di bioskop.
Pada masa itu,
saat menonton bioskop, masyarakat tentunya tidak ingin tulisan “MOHON MAAF,
TUNGGU FILM” muncul di tengah pemutaran film. Sehingga sosok “pengantar roll film” dianggap sangat
penting di film ini. Namun di era teknologi sekarang, semua terlihat berbeda
karena film tidak lagi diputar menggunakan roll, melainkan langsung terkoneksi
dengan proyektor. Sang sutradara ingin menyampaikan betapa pentingnya profesi
pengantar roll film pada masa itu, namun sangat sedikit masyarakat yang menaruh
perhatian atas profesi tersebut.
Ada beberapa scene
yang dapat kita temukan di film ini yang menonjolkan dan menekankan aspek
terhadap suatu isu sehingga memunculkan opini publik. Satu di antaranya adalah
tentang gay. Walaupun hanya
diceritakan secara singkat di film ini, sang sutradara ingin menunjukkan bahwa
homoseksual masih marak terjadi di Indonesia. Di scene tersebut diceritakan
bahwa pada saat Joni mengantarkan roll film di suatu bioskop dan pergi ke
toilet, ia bertemu dengan sepasang homoseksual yang sedang bercerita tentang
film yang baru saja mereka tonton. Gerak-gerik kedua lelaki tersebut yang
mengisyaratkan bahwa mereka adalah homoseksual. Mereka sudah tidak malu lagi
menunjukkan jati diri di depan umum bahwa mereka adalah seorang homoseksual.
Dari scene ini,
dapat dilihat bahwa sutradara film ingin menekankan isu seksualitas di dalam
film ini sehingga membentuk opini publik bahwa homoseksualitas masih marak
terjadi di Indonesia. LGBT memang selalu menjadi suatu isu yang tidak ada
habisnya dibahas di wilayah Indonesia. Perdebatan-perdebatan selalu muncul
ketika kita membahas isu tersebut. Di Indonesia, semakin lama orang yang
mengalami kelainan seksual tersebut justru sudah tidak malu menunjukkan
dirinya. Bahkan beberapa dari mereka dengan bangganya justru menampilkan
hal-hal tersebut di depan umum. Bahkan ada yang rela menikah di negara yang
melegalkan adanya pernikahan sesama jenis. Sang sutradara ingin menonjolkan
aspek tersebut mengingat isu ini sangat banyak terjadi di Indonesia dan banyak
memiliki pro dan kontra.
Diceritakan di
film ini, selama bekerja menjadi pengantar roll film, Joni telah
mengklasifikasikan setidaknya ada sepuluh tipe penonton bioskop di Indonesia.
Berikut adalah kesepuluh tipe penonton bioskop tersebut.
a. Penonton
cari perhatian (penonton yang hobinya gossip dan berpakaian mencolok agar
mendapat perhatian dari orang lain)
b. Penonton
piknik (penonton yang hobinya makan atau minum di dalam bioskop).
c. Penonton
pacaran
d. Penonton
pembajak (penonton yang membawa alat perekam seperti kamera dan handycam untuk merekam film yang ia
tonton untuk kemudian dijual kembali).
e. Penonton
spoiler (penonton yang terus menerka
dan menceritakan alur film menurut pendapatnya).
f. Kritikus
film (penonton yang mencatat kekurangan dan kelebihan film yang ditonton).
g. Penonton
ponsel (penonton yang hobinya menelpon saat menonton).
h. Penonton
tidur (penonton yang sering tertidur selama menonton film).
i. Penonton
telmi (penonton yang selalu bertanya tentang film yang sedang berlangsung).
j. Penonton
perfeksionis (penonton yang tidak mau sedikitpun ada kekurangan dari film yang
ditonton baik itu secara visual maupun audio visual).
Kriteria penonton yang dibuat oleh sang sutradara di atas sangat menunjukkan realitas penonton bioskop yang terjadi di Indonesia, khususnya penonton pembajak. Indonesia merupakan negara dengan hasil pembajakan tertinggi di dunia yaitu sekitar 90% berdasarkan data yang ada. Pembajakan yang sekarang ini sudah menjadi budaya di Indonesia memang sangat sulit dihindari mengingat setiap orang sudah mulai pintar bermain-main dengan teknologi. Hampir setiap orang bisa mendapatkan suatu karya, dalam hal ini film, dengan cara yang illegal, seperti mendownload ataupun membeli rekaman hasil bajakan. Isu mengenai hal ini diangkat oleh sang sutradara, bahkan dijadikan kategori penonton bioskop yang biasa ditemukan di Indonesia.
Awal perjuangan
Joni ini diawali dengan keinginannya membantu seorang kakek buta yang ia temui
hendak menyeberang jalan. Rupanya kakek tersebut sudah menunggu berjam-jam
untuk dapat menyeberang jalan, namun tidak satu orangpun yang datang
membantunya. Hingga akhirnya Joni pun turun dari motornya, dan membantu kakek
buta tersebut menyeberang jalan. Saat itu kesialan sedang menghampirinya,
sehingga ia harus mendapati motornya dicuri orang lain saat sedang membantu
kakek tersebut menyeberang jalan. Joni pun sangat kebingungan karena nasib
penonton bioskop untuk dapat melanjutkan film yang ditonton mereka berada di
tangannya.
Ia terus berlari
untuk mengejar pencuri tersebut sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang
polisi lalu lintas. Joni pun meminta bantuan petugas kepolisian tersebut agar
ia dapat dengan segera mendapatkan motornya kembali. Bukannya langsung
membantu, polisi tersebut justru menyalahkan Joni yang dianggapnya kurang
berhati-hati dalam memarkirkan kendaraan. Joni malah diminta untuk datang ke
kantor polisi untuk dapat menulis dan menceritakan informasi kehilangan yang
baru saja dialaminya. Namun, Joni menolak melakukan hal tersebut karena hanya
akan membuang waktunya, sedangkan ia harus cepat mengantarkan roll filmnya agar
janjinya terpenuhi. Ia terus berlari mengejar pencuri motor tersebut.
Pada scene
tersebut, sangat jelas bahwa sang sutradara ingin menampilkan realitas yang ada
di Indonesia bahwa polisi kurang bertindak tegas ketika kita melaporkan
kehilangan sesuatu. Bahkan waktu yang ditentukan untuk kita dapat melapor
kehilangan sesuatu adalah 1x24 jam. Dalam film tersebut, sang polisi dengan
tegas menolak untuk mengejar motor yang baru saja dicuri pelapor. Ia malah
menyuruh pelapor untuk pergi ke kantor polisi agar dapat menceritakan
kejadiannya.
Di scene lain juga
terdapat penonjolan aspek terhadap suatu isu yang menyebabkan munculnya opini
publik, yaitu mengenai budaya mengantri. Diceritakan bahwa saat itu, di dalam bioskop
tersebut memiliki penonton yang sangat banyak sehingga antrian tiket terlihat
sangat panjang. Seorang laki-laki yang ingin menonton dengan pasangannya enggan
mengantri melihat panjangnya antrian biskop pada hari itu. Ia berusaha untuk
mencari “calo”/orang yang bisa dimintai tolong agar ia bisa mendapatkan tiket
bioskop sesuai dengan tempat yang ia inginkan. Orang pertama dan orang kedua
yang ia mintai tolong, menolak permintaan pertolongannya karena mereka sangat menjunjung
tinggi konsep mengantri. Namun orang ke tiga yang ia mintai tolong mau menuruti
permintaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan uang lebih untuk membayarkan juga
tiket orang yang disuruhnya mengantri.
Dari scene tersebut, dapat dijelaskan
bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengedepankan konsep
mengantri. Bahkan masih banyak di antara mereka yang rela mengeluarkan uang
lebih untuk menghindari yang namanya “antrian”. Segala hal masih diukur dengan
materi. ketika kita memiliki uang, kita dapat memiliki apapun yang kita
inginkan. Begitulah singkatnya opini yang ingin disampaikan sang pembuat film.
Perjuangan Joni untuk mengantarkan
roll film tepat waktu pun dilanjutkan dengan bertemunya ia dengan seorang
perempuan bernama Voni yang terlihat sedang dicopet. Sang pencuri hendak
mengambil tas yang dimiliki Voni dan Voni berusaha mempertahankan tasnya dari
perampok yang belakangan diketahui bernama Jeffrey. Melihat ketidakadilan
tersebut, tanpa berpikir panjang, Joni langsung menolong gadis itu. Namun
sayangnya, lagi-lagi Joni tertipu. Tas miliknya, yang berisi roll film, yang
Joni titipkan ke gadis tersebut justru dibawa lari ketika ia sedang melakukan
tawaran dengan Jeffrey. Joni bingung melihat Jeffrey kabur yang awalnya mau
merampok Voni. Seketika ia tersadar ketika tidak ada lagi Voni di sampingnya.
Dan baru sadar bahwa ia telah ditipu oleh mereka berdua.
Joni semakin bingung dan lelah,
karena tas yang dibawa berisi rol film yang harus ia antar. Di tengah
perjalanan mengejar Voni, ia bertanya kepada anak kecil yang bernama Toni
(Dwiky Riza). Rupanya anak kecil tersebut adalah adik dari Voni. Lalu ia
mempertemukan Joni kepada Voni dan Jeffrey di sebuah tempat di mana Voni dan
Jeffrey sedang melakukan audisi band. Menurut pengakuan Jeffrey dan Voni,
mereka mencuri tas tersebut untuk biaya audisi band tersebut.
Dalam audisi band itupun, Voni dan Jeffrey
masih mempunyai masalah yaitu drummer mereka tak kunjung datang sementara waktu
yang disediakan sudah hampir habis. Lalu, Joni menawarkan diri untuk menjadi
drummer pengganti karena ia harus cepat-cepat mendapatkan kembali tas miliknya.
Audisi berhasil, band Jeffrey pun lolos. Namun, masalah kembali lagi muncul
ketika Voni bilang ke Joni bahwa tas yang ia curi darinya sudah dijual kepada
raja pencuri bernama Adam Subandi (Sudjiwo Tedjo). Raja pencuri tersebut
merupakan kolektor yang akan mengadakan pameran barang-barang seni hasil
curian. Merasa telah ditolong, akhirnya Voni mengantarkan Joni ke rumah Raja pencuri
yang merupakan seniman gila. Dan akhirnya Joni berhasil bertemu dengan seniman
tersebut. Dan dimulailah dialog di antara Joni dan seniman gila tersebut
mengenai profesi yang dilakukan Joni.
Seniman gila tersebut terlihat sangat
heran mengetahui Joni menganggap pekerjaan pengantar roll film sebagai karir
utamanya. Pandangan Joni mengenai pekerjaan berbeda dengan pandangannya yang
menganggap kriteria pekerjaan nomer satu adalah materi. Sementara Joni berkata:
“Pekerjaan
yang paling baik adalah pekerjaan dimana lo bisa nikmatin pekerjaan itu.”
Ini adalah ke sekian kalinya isu
mengenai materi diangkat oleh sang sutradara. Ia memiliki opini bahwa pekerjaan
yang paling baik adalah ketika kita melakukannya sesuai dengan passion kita, bukan semata-mata karena
materi. Mengingat saat ini, banyak sekali orang yang bekerja karena faktor
materi. Sang sutradara ingin menyampaikan bahwa pekerjaan sesungguhnya bukanlah
tentang besaran gaji yang kita dapat. Pekerjaan berbicara tentang passion. Ketika kita melakukan apa yang
memang kita minati dan sukai, hilanglah sudah pikiran-pikiran mengenai materi.
Sehingga kriteria pekerjaan yang paling utama bukanlah tentang materi,
melainkan passion.
Scene lain mengenai pekerjaan dan
materi ditunjukkan ketika Joni sedang berusaha menuju bioskop tempatnya
mengantar roll film. Karena tidak memiliki kendaraan dan tidak ada kendaraan
umum, ia akhirnya terpaksa menumpang mobil ambulans yang sedang membawa pasien
yang sedang sakit jantung untuk dibawa ke rumah sakit. Selanjutnya diketahui
bahwa orang yang menderita penyakit jantung tersebut adalah seorang produser film
yang mengalami kegagalan dalam menaruh saham. Ia tidak mau diajak berinvestasi
di dalam suatu film karena takut film tersebut tidak laku dan mendapat rating
yang rendah. Namun ternyata hal itu berlaku kebalikannya. Film yang ia tolak
untuk diajak kerja sama tersebut justru laku keras.
Joko Anwar tampaknya ingin
memberitahu kita bahwa masih banyak produser film di Indonesia yang lebih
mementingkan untung daripada materi film itu sendiri. Sang produser diceritakan
sangat menyesal karena tidak berinvestasi di film tersebut hingga penyakit
jantungnya kumat. Lewat sindiran-sindiran dialog yang dibalut secara komedi,
begitulah yang ingin sang sutradara sampaikan kepada kita sebagai penontonnya.
KESIMPULAN
Janji Joni merupakan film yang mengangkat
realitas kehidupan sosial di Indonesia. Ada banyak sekali kritik sosial yang dibentuk
oleh Joko Anwar, sang sutradara film. Beberapa adegan dan percakapan juga
ditunjukkan untuk membentuk opini publik penonton. Joko Anwar mengangkat dan
menekankan isu-isu yang biasa kita temukan di Inonesia, seperti
homoseksualitas, budaya, hingga ke pekerjaan dan passion.
Teori yang digunakan untuk
menganalisis opini publik yang terbentuk adalah teori semiotika, proximity dan teori nilai budaya. Semiotika
dipilih karena teori ini sangat mendukung adanya pembentukan opini public lewat
media, dalam hal ini film. Symbol-simbol yang digunakan dalam film baik itu
berupa gambar maupun percakapan membantu sang sutradara dalam menyampaikan
opininya. Selain itu, teori lain yang digunakan untuk membentuk opini public
lainnya adalah dengan teori proximity.
Kedekatan jarak yang digunakan dalam film ini adalah dengan cara menggunakan
latar bioskop sebagai tempat yang selalu muncul di dalam film. Untuk dapat
membantu penonton dalam membentuk opini public, sutradara film menggunakan
tempat yang sudah sangat familiar di mata masyarakat. Selain itu, teori
terakhir yang digunakan adalah teori nilai budaya. Film ini mengangkat isu-isu
mengenai budaya yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia, misalnya
seberti mengantri, dan lain sebagainya.
Saya ingin memberikan sedikit saran
untuk sutradara film Jonji Joni agar pembentukan opini publik berlangsung
secara maksimal. Dari segi pengangkatan profesi yang dipilih memang sudah baik,
yaitu pengantar roll film. Pekerjaan ini memang sudah jarang mendapat perhatian
dari masyarakat. Namun isu-isu yang ditonjolkan justru sangat minimalis. Sang
sutradara menampilkan banyak isu yang ingin ditonjolkan, namun durasi yang
digunakan untuk menampilkan satu isu sangat singkat. Padahal jika ingin pesan
tersebut benar-benar sampai ke penonton, sekiranya membutuhkan waktu yang agak
panjang untuk menyampaikan suatu isu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar