Rabu, 11 Januari 2017

Review Film Janji Joni (2005)


Janji Joni (2005) merupakan film garapan Joko Anwar yang dibintangi oleh Nicholas Saputra sebagai pemeran utamanya. Bercerita tentang seorang pengantar roll film yang selalu tepat waktu dalam menjalankan tugasnya. Joni (Nicholas) berjanji tidak akan pernah terlambat dalam mengantarkan roll film sehingga penonton tidak akan pernah melihat tulisan “MOHON MAAF, TUNGGU FILM” (kalimat yang biasa ditemukan ketika roll film putus) pada saat menonton.
Suatu hari, Joni bertemu dengan seorang gadis cantik (Mariana Renata) dan merasa penasaran untuk berkenalan dengannya. Gadis itu membuat Joni berjanji untuk tidak telat dalam mengantar roll film yang akan ditontonnya. Demi mendapatkan sebuah nama, Joni menerima tantangan tersebut. Ia mengira ini akan menjadi hal yang sangat mudah. Namun hari itu, entah kenapa seluruh kota seakan-akan bekerja sama untuk membuatnya gagal menepati janjinya. Ia harus bertemu dengan pencuri motor, ikut shooting film, bertemu dengan anak-anak band yang tenyata seorang kriminal, hingga bertemu dengan seniman gila.
Untuk pertama kali dalam setahun ia bekerja sebagai pengantar roll film, ia gagal menepati janjinya. Film yang penonton saksikan putus di tengah jalan, hingga muncul tulisan “MOHON MAAF, TUNGGU FILM”. Ia pun gagal menepati janjinya kepada gadis yang ia temui sebelumnya. Namun tak disangka, walaupun film yang ia tonton terputus, si gadis masih menunggunya. Ia justru menghargai perjuangan Joni yang telah bersusah payah mengantar roll film. Pada akhirnya, Joni mengetahui gadis itu bernama Angelique.

 Hasil Pengamatan
Film ini memiliki penonjolan isu mengenai realitas kehidupan di Indonesia. Ditandai dengan beberapa adegan yang berisi tentang kritik sosial di masyarakat Indonesia. Sutradara film mencoba mengangkat profesi pengantar roll film yang berasal dari kelas sosial rendah yang ternyata sangat berpengaruh di kehidupan kita. Profesi yang sudah luput dari perhatian banyak orang ini diangkat seakan-akan menjadi pahlawan saat kita menonton film di bioskop.
Pada masa itu, saat menonton bioskop, masyarakat tentunya tidak ingin tulisan “MOHON MAAF, TUNGGU FILM” muncul di tengah pemutaran film. Sehingga sosok “pengantar roll film” dianggap sangat penting di film ini. Namun di era teknologi sekarang, semua terlihat berbeda karena film tidak lagi diputar menggunakan roll, melainkan langsung terkoneksi dengan proyektor. Sang sutradara ingin menyampaikan betapa pentingnya profesi pengantar roll film pada masa itu, namun sangat sedikit masyarakat yang menaruh perhatian atas profesi tersebut.
Ada beberapa scene yang dapat kita temukan di film ini yang menonjolkan dan menekankan aspek terhadap suatu isu sehingga memunculkan opini publik. Satu di antaranya adalah tentang gay. Walaupun hanya diceritakan secara singkat di film ini, sang sutradara ingin menunjukkan bahwa homoseksual masih marak terjadi di Indonesia. Di scene tersebut diceritakan bahwa pada saat Joni mengantarkan roll film di suatu bioskop dan pergi ke toilet, ia bertemu dengan sepasang homoseksual yang sedang bercerita tentang film yang baru saja mereka tonton. Gerak-gerik kedua lelaki tersebut yang mengisyaratkan bahwa mereka adalah homoseksual. Mereka sudah tidak malu lagi menunjukkan jati diri di depan umum bahwa mereka adalah seorang homoseksual.
Dari scene ini, dapat dilihat bahwa sutradara film ingin menekankan isu seksualitas di dalam film ini sehingga membentuk opini publik bahwa homoseksualitas masih marak terjadi di Indonesia. LGBT memang selalu menjadi suatu isu yang tidak ada habisnya dibahas di wilayah Indonesia. Perdebatan-perdebatan selalu muncul ketika kita membahas isu tersebut. Di Indonesia, semakin lama orang yang mengalami kelainan seksual tersebut justru sudah tidak malu menunjukkan dirinya. Bahkan beberapa dari mereka dengan bangganya justru menampilkan hal-hal tersebut di depan umum. Bahkan ada yang rela menikah di negara yang melegalkan adanya pernikahan sesama jenis. Sang sutradara ingin menonjolkan aspek tersebut mengingat isu ini sangat banyak terjadi di Indonesia dan banyak memiliki pro dan kontra.
Diceritakan di film ini, selama bekerja menjadi pengantar roll film, Joni telah mengklasifikasikan setidaknya ada sepuluh tipe penonton bioskop di Indonesia. Berikut adalah kesepuluh tipe penonton bioskop tersebut.
a. Penonton cari perhatian (penonton yang hobinya gossip dan berpakaian mencolok agar mendapat perhatian dari orang lain)
b. Penonton piknik (penonton yang hobinya makan atau minum di dalam bioskop).
c.  Penonton pacaran
d. Penonton pembajak (penonton yang membawa alat perekam seperti kamera dan handycam untuk merekam film yang ia tonton untuk kemudian dijual kembali).
e. Penonton spoiler (penonton yang terus menerka dan menceritakan alur film menurut pendapatnya).
f. Kritikus film (penonton yang mencatat kekurangan dan kelebihan film yang ditonton).
g. Penonton ponsel (penonton yang hobinya menelpon saat menonton).
h. Penonton tidur (penonton yang sering tertidur selama menonton film).
i. Penonton telmi (penonton yang selalu bertanya tentang film yang sedang berlangsung).
j. Penonton perfeksionis (penonton yang tidak mau sedikitpun ada kekurangan dari film yang ditonton baik itu secara visual maupun audio visual).

Kriteria penonton yang dibuat oleh sang sutradara di atas sangat menunjukkan realitas penonton bioskop yang terjadi di Indonesia, khususnya penonton pembajak. Indonesia merupakan negara dengan hasil pembajakan tertinggi di dunia yaitu sekitar 90% berdasarkan data yang ada. Pembajakan yang sekarang ini sudah menjadi budaya di Indonesia memang sangat sulit dihindari mengingat setiap orang sudah mulai pintar bermain-main dengan teknologi. Hampir setiap orang bisa mendapatkan suatu karya, dalam hal ini film, dengan cara yang illegal, seperti mendownload ataupun membeli rekaman hasil bajakan. Isu mengenai hal ini diangkat oleh sang sutradara, bahkan dijadikan kategori penonton bioskop yang biasa ditemukan di Indonesia.
Awal perjuangan Joni ini diawali dengan keinginannya membantu seorang kakek buta yang ia temui hendak menyeberang jalan. Rupanya kakek tersebut sudah menunggu berjam-jam untuk dapat menyeberang jalan, namun tidak satu orangpun yang datang membantunya. Hingga akhirnya Joni pun turun dari motornya, dan membantu kakek buta tersebut menyeberang jalan. Saat itu kesialan sedang menghampirinya, sehingga ia harus mendapati motornya dicuri orang lain saat sedang membantu kakek tersebut menyeberang jalan. Joni pun sangat kebingungan karena nasib penonton bioskop untuk dapat melanjutkan film yang ditonton mereka berada di tangannya.
Ia terus berlari untuk mengejar pencuri tersebut sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang polisi lalu lintas. Joni pun meminta bantuan petugas kepolisian tersebut agar ia dapat dengan segera mendapatkan motornya kembali. Bukannya langsung membantu, polisi tersebut justru menyalahkan Joni yang dianggapnya kurang berhati-hati dalam memarkirkan kendaraan. Joni malah diminta untuk datang ke kantor polisi untuk dapat menulis dan menceritakan informasi kehilangan yang baru saja dialaminya. Namun, Joni menolak melakukan hal tersebut karena hanya akan membuang waktunya, sedangkan ia harus cepat mengantarkan roll filmnya agar janjinya terpenuhi. Ia terus berlari mengejar pencuri motor tersebut.
Pada scene tersebut, sangat jelas bahwa sang sutradara ingin menampilkan realitas yang ada di Indonesia bahwa polisi kurang bertindak tegas ketika kita melaporkan kehilangan sesuatu. Bahkan waktu yang ditentukan untuk kita dapat melapor kehilangan sesuatu adalah 1x24 jam. Dalam film tersebut, sang polisi dengan tegas menolak untuk mengejar motor yang baru saja dicuri pelapor. Ia malah menyuruh pelapor untuk pergi ke kantor polisi agar dapat menceritakan kejadiannya.
Di scene lain juga terdapat penonjolan aspek terhadap suatu isu yang menyebabkan munculnya opini publik, yaitu mengenai budaya mengantri. Diceritakan bahwa saat itu, di dalam bioskop tersebut memiliki penonton yang sangat banyak sehingga antrian tiket terlihat sangat panjang. Seorang laki-laki yang ingin menonton dengan pasangannya enggan mengantri melihat panjangnya antrian biskop pada hari itu. Ia berusaha untuk mencari “calo”/orang yang bisa dimintai tolong agar ia bisa mendapatkan tiket bioskop sesuai dengan tempat yang ia inginkan. Orang pertama dan orang kedua yang ia mintai tolong, menolak permintaan pertolongannya karena mereka sangat menjunjung tinggi konsep mengantri. Namun orang ke tiga yang ia mintai tolong mau menuruti permintaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan uang lebih untuk membayarkan juga tiket orang yang disuruhnya mengantri.
Dari scene tersebut, dapat dijelaskan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengedepankan konsep mengantri. Bahkan masih banyak di antara mereka yang rela mengeluarkan uang lebih untuk menghindari yang namanya “antrian”. Segala hal masih diukur dengan materi. ketika kita memiliki uang, kita dapat memiliki apapun yang kita inginkan. Begitulah singkatnya opini yang ingin disampaikan sang pembuat film.­
Perjuangan Joni untuk mengantarkan roll film tepat waktu pun dilanjutkan dengan bertemunya ia dengan seorang perempuan bernama Voni yang terlihat sedang dicopet. Sang pencuri hendak mengambil tas yang dimiliki Voni dan Voni berusaha mempertahankan tasnya dari perampok yang belakangan diketahui bernama Jeffrey. Melihat ketidakadilan tersebut, tanpa berpikir panjang, Joni langsung menolong gadis itu. Namun sayangnya, lagi-lagi Joni tertipu. Tas miliknya, yang berisi roll film, yang Joni titipkan ke gadis tersebut justru dibawa lari ketika ia sedang melakukan tawaran dengan Jeffrey. Joni bingung melihat Jeffrey kabur yang awalnya mau merampok Voni. Seketika ia tersadar ketika tidak ada lagi Voni di sampingnya. Dan baru sadar bahwa ia telah ditipu oleh mereka berdua.
Joni semakin bingung dan lelah, karena tas yang dibawa berisi rol film yang harus ia antar. Di tengah perjalanan mengejar Voni, ia bertanya kepada anak kecil yang bernama Toni (Dwiky Riza). Rupanya anak kecil tersebut adalah adik dari Voni. Lalu ia mempertemukan Joni kepada Voni dan Jeffrey di sebuah tempat di mana Voni dan Jeffrey sedang melakukan audisi band. Menurut pengakuan Jeffrey dan Voni, mereka mencuri tas tersebut untuk biaya audisi band tersebut.
Dalam audisi band itupun, Voni dan Jeffrey masih mempunyai masalah yaitu drummer mereka tak kunjung datang sementara waktu yang disediakan sudah hampir habis. Lalu, Joni menawarkan diri untuk menjadi drummer pengganti karena ia harus cepat-cepat mendapatkan kembali tas miliknya. Audisi berhasil, band Jeffrey pun lolos. Namun, masalah kembali lagi muncul ketika Voni bilang ke Joni bahwa tas yang ia curi darinya sudah dijual kepada raja pencuri bernama Adam Subandi (Sudjiwo Tedjo). Raja pencuri tersebut merupakan kolektor yang akan mengadakan pameran barang-barang seni hasil curian. Merasa telah ditolong, akhirnya Voni mengantarkan Joni ke rumah Raja pencuri yang merupakan seniman gila. Dan akhirnya Joni berhasil bertemu dengan seniman tersebut. Dan dimulailah dialog di antara Joni dan seniman gila tersebut mengenai profesi yang dilakukan Joni.
Seniman gila tersebut terlihat sangat heran mengetahui Joni menganggap pekerjaan pengantar roll film sebagai karir utamanya. Pandangan Joni mengenai pekerjaan berbeda dengan pandangannya yang menganggap kriteria pekerjaan nomer satu adalah materi. Sementara Joni berkata:
“Pekerjaan yang paling baik adalah pekerjaan dimana lo bisa nikmatin pekerjaan itu.”
Ini adalah ke sekian kalinya isu mengenai materi diangkat oleh sang sutradara. Ia memiliki opini bahwa pekerjaan yang paling baik adalah ketika kita melakukannya sesuai dengan passion kita, bukan semata-mata karena materi. Mengingat saat ini, banyak sekali orang yang bekerja karena faktor materi. Sang sutradara ingin menyampaikan bahwa pekerjaan sesungguhnya bukanlah tentang besaran gaji yang kita dapat. Pekerjaan berbicara tentang passion. Ketika kita melakukan apa yang memang kita minati dan sukai, hilanglah sudah pikiran-pikiran mengenai materi. Sehingga kriteria pekerjaan yang paling utama bukanlah tentang materi, melainkan passion.
Scene lain mengenai pekerjaan dan materi ditunjukkan ketika Joni sedang berusaha menuju bioskop tempatnya mengantar roll film. Karena tidak memiliki kendaraan dan tidak ada kendaraan umum, ia akhirnya terpaksa menumpang mobil ambulans yang sedang membawa pasien yang sedang sakit jantung untuk dibawa ke rumah sakit. Selanjutnya diketahui bahwa orang yang menderita penyakit jantung tersebut adalah seorang produser film yang mengalami kegagalan dalam menaruh saham. Ia tidak mau diajak berinvestasi di dalam suatu film karena takut film tersebut tidak laku dan mendapat rating yang rendah. Namun ternyata hal itu berlaku kebalikannya. Film yang ia tolak untuk diajak kerja sama tersebut justru laku keras.
Joko Anwar tampaknya ingin memberitahu kita bahwa masih banyak produser film di Indonesia yang lebih mementingkan untung daripada materi film itu sendiri. Sang produser diceritakan sangat menyesal karena tidak berinvestasi di film tersebut hingga penyakit jantungnya kumat. Lewat sindiran-sindiran dialog yang dibalut secara komedi, begitulah yang ingin sang sutradara sampaikan kepada kita sebagai penontonnya.


KESIMPULAN
            Janji Joni merupakan film yang mengangkat realitas kehidupan sosial di Indonesia. Ada banyak sekali kritik sosial yang dibentuk oleh Joko Anwar, sang sutradara film. Beberapa adegan dan percakapan juga ditunjukkan untuk membentuk opini publik penonton. Joko Anwar mengangkat dan menekankan isu-isu yang biasa kita temukan di Inonesia, seperti homoseksualitas, budaya, hingga ke pekerjaan dan passion.
            Teori yang digunakan untuk menganalisis opini publik yang terbentuk adalah teori semiotika, proximity dan teori nilai budaya. Semiotika dipilih karena teori ini sangat mendukung adanya pembentukan opini public lewat media, dalam hal ini film. Symbol-simbol yang digunakan dalam film baik itu berupa gambar maupun percakapan membantu sang sutradara dalam menyampaikan opininya. Selain itu, teori lain yang digunakan untuk membentuk opini public lainnya adalah dengan teori proximity. Kedekatan jarak yang digunakan dalam film ini adalah dengan cara menggunakan latar bioskop sebagai tempat yang selalu muncul di dalam film. Untuk dapat membantu penonton dalam membentuk opini public, sutradara film menggunakan tempat yang sudah sangat familiar di mata masyarakat. Selain itu, teori terakhir yang digunakan adalah teori nilai budaya. Film ini mengangkat isu-isu mengenai budaya yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia, misalnya seberti mengantri, dan lain sebagainya.

            Saya ingin memberikan sedikit saran untuk sutradara film Jonji Joni agar pembentukan opini publik berlangsung secara maksimal. Dari segi pengangkatan profesi yang dipilih memang sudah baik, yaitu pengantar roll film. Pekerjaan ini memang sudah jarang mendapat perhatian dari masyarakat. Namun isu-isu yang ditonjolkan justru sangat minimalis. Sang sutradara menampilkan banyak isu yang ingin ditonjolkan, namun durasi yang digunakan untuk menampilkan satu isu sangat singkat. Padahal jika ingin pesan tersebut benar-benar sampai ke penonton, sekiranya membutuhkan waktu yang agak panjang untuk menyampaikan suatu isu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar